Hari-hari ini kita sering latah bicara soal berpikir outside the box — berpikir di luar pakem, di luar kelaziman, di luar arus utama (mainstream), dan seterusnya. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan berpikir di luar arus utama ini?
Seorang filsuf seperti Immanuel Kant pada abad ke-18 pernah mendefinisikan sikap kritis sebagai sikap yang berani berpikir sendiri. Artinya, ketika kita menghadapi suatu persoalan, kita tidak langsung mencari pegangan pada pendapat-pendapat yang sudah ada, tetapi mencoba merumuskannya sendiri.
Tentu, berpikir sendiri bukan berarti mengabaikan tradisi pemikiran. Justru, seseorang tidak bisa berpikir mandiri jika ia tidak pernah mempelajari pemikiran orang-orang sebelum dirinya. Namun, inti dari gagasan Kant adalah bahwa kita harus berani mengambil posisi pemikiran sendiri, bukan sekadar mengulang apa yang telah dikatakan oleh para pendahulu kita.
Sikap Kritis Bukan Berarti Kontra Terus
Pemikiran kritis tidak sama dengan sikap yang selalu menentang segala hal—bukan pula sekadar menjadi seorang contrarian. Sikap kritis bukan berarti:
"Kalau orang lain bilang A, saya harus bilang bukan A. Kalau orang lain bilang B, saya harus bilang bukan B."
Sikap kritis adalah kemampuan untuk menimbang secara mandiri manfaat, kekurangan, dan kelebihan dari suatu argumen, lalu memutuskan mana yang lebih layak dipercaya. Jadi, sikap kritis bukan sikap negatif atau suka memprotes, melainkan sikap dewasa dalam menanggapi informasi dan ide.
Sikap Kritis Bukan Sekadar Problem Solving
Sikap kritis juga berbeda dari pendekatan yang hanya berorientasi pada hasil akhir (end result oriented). Pendekatan semacam ini umumnya fokus pada memecahkan masalah secara praktis: ada masalah — cari solusi.
Namun, dalam pemikiran kritis, kita justru mulai dengan mempertanyakan terlebih dahulu apa yang kita anggap sebagai masalah. Jangan-jangan, apa yang selama ini kita pikir sebagai masalah utama, bukanlah masalah yang paling mendasar.
Berpikir kritis menuntut kita untuk tidak langsung menerima definisi masalah yang sudah diberikan, tetapi justru mengevaluasinya — dan jika perlu, menyusun ulang pemahaman kita atas persoalan tersebut.
Apa Maksudnya Berpikir "Outside the Box"?
Berpikir di luar kotak berarti tidak membatasi diri pada paradigma tunggal dalam memandang sebuah persoalan. Sekat-sekat antar cabang ilmu yang kita kenal sekarang—ekonomi, politik, biologi, dan lain-lain—sebetulnya adalah konstruksi historis. Mereka diciptakan sebagai bagian dari pembagian kerja dalam institusi pendidikan, bukan karena batasan itu niscaya secara alamiah.
Berpikir kritis mengajak kita untuk melampaui sekat-sekat itu, untuk mengeksplorasi sebuah persoalan dari berbagai sudut pandang. Ketika satu paradigma tidak mampu menjawab persoalan, bukan berarti persoalan itu tidak bisa dijawab. Mungkin kita hanya perlu cara pandang lain.
Kenapa Harus Diajarkan Sejak Dini?
Jika sikap kritis baru diperkenalkan di tingkat perguruan tinggi, sering kali sudah terlambat. Di usia itu, kebanyakan orang sudah memiliki cara pandang yang "fix", yang sulit digoyahkan. Mereka cenderung sulit diajak bereksperimen atau mencoba sudut pandang yang baru.
Oleh karena itu, di banyak negara Eropa seperti Jerman, filsafat sebagai instrumen utama dalam membentuk pemikiran kritis sudah diajarkan sejak tingkat SMA. Di masa itu, seseorang sudah cukup dewasa untuk merefleksikan pengalaman hidupnya, tapi belum terlalu kaku dalam cara berpikirnya. Masih ada ruang untuk mempertanyakan, mengeksplorasi, dan mencari jawaban secara mandiri.
Mengapa Filsafat?
Filsafat tidak mengandalkan hafalan. Kita tidak perlu menghafal teori A, B, atau C. Yang lebih penting adalah menalar dan memahami gagasan. Kita diajak untuk:
- Mendengarkan argumen.
- Menangkap intinya.
- Memberikan respons secara orisinal.
Dalam filsafat, kita tidak terburu-buru memecahkan masalah. Kita belajar menghargai persoalan. Misalnya, ketika membahas hakikat dunia, kita tidak langsung menjawab, “Hakikat dunia itu adalah A atau B.” Kita mulai dengan memahami terlebih dahulu: apa itu hakikat? Apa artinya? Apa syarat agar kita bisa mengetahui hakikat sesuatu?
Dengan begitu, filsafat membiasakan kita menunda penilaian, memeriksa asumsi yang tersembunyi, dan berpikir lebih dalam.
Tahu Bahwa Tidak Tahu
Salah satu tokoh penting dalam sejarah filsafat, pernah mengatakan:
"Orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu.”
— Socrates
Orang yang belajar filsafat tahu bahwa dirinya tidak mengetahui segala hal. Sementara mereka yang tidak belajar filsafat, bahkan tidak sadar bahwa mereka tidak tahu. Mereka merasa seolah tahu segalanya — padahal tidak.
Sikap ini—kesadaran akan ketidaktahuan—adalah akar dari sikap kritis. Dari situlah muncul dorongan untuk belajar, bertanya, dan mencari tahu.
Belajar untuk Ragu
Sikap kritis juga berarti belajar untuk meragukan kesimpulan yang terburu-buru. Dalam sistem pendidikan konvensional, kita diajarkan untuk cepat menyimpulkan dan cepat menjawab. Ketika jawaban kita salah, kita dihukum. Padahal, hidup ini tidak sesederhana hitam-putih antara benar dan salah.
Sikap filsafat justru mengajarkan kita untuk lebih rileks dalam berpikir. Tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Tidak alergi pada keraguan. Sebab, dalam banyak kasus, jawaban yang memuaskan bukanlah jawaban yang cepat, tetapi jawaban yang lahir dari pemikiran yang mendalam dan argumentasi yang kuat.
"Semua jawaban bisa benar, asalkan asumsinya terpenuhi."
Itulah esensi dari berpikir kritis. Bukan tentang menjadi benar, tapi tentang menjadi sadar.